Artikel
Pancasila dengan Globalisasi
1. Globalisasi
McLuhan yang merupakan seorang
pemikir komunikasi pada tahun 1964 telah melontarkan konsepnya mengenai The
Global Village, namun konsep globalisasi baru masuk kajian dunia universitas
pada tahun 80-an sebagai suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland
Roberston dari University of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisai
dianggap sebagai suatu pengertian ekonomi (Tilaar, 1997:15).
Tabb (2001:10) mengatakan bahwa
definisi globalisasi merupakan sebuah kategori luas yang mencakup banyak aspek
dan makna. Selanjutnya dia mengatakan bahwa:
“Istilah tersebut berarti sebuah
proses saling keterhubungan antar negara dan masyarakat. Ini adalah gambaran
bagaimana kejadian dan kegiatan di satu bagian dunia memiliki akibat signifikan
bagi masyarakat dan komunitas di bagian dunia lainnya…. Ini bukan saja soal
ekonomi tapi bahkan meningkatnya saling ketergantungan sosial dan budaya dari
desa global yang minum Coke dan menonton Disney”

Proses globalisasi mempengaruhi pada
hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena
ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi
perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar
kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan
masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya.
Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape),
lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian
(leisurescape).
Pandangan Marxian menganggap arena
ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan Parsonian menganggap arena
budaya yang menentukan, sedangkan arena lainnya mengikuti. Tabb (Tilaar,
2001:14) berpandangan bukan hanya pada arena itu saja yang dipengaruhi
globalisasi melainkan baik atau buruk. Bagi mereka yang diuntungkan cenderung
menyukainya dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah. Sementara yang
berfikir bahwa mereka dirugikan atau takut akan kehancuran dan mahalnya ongkos
sosial globalisasi akan usaha penyebaran keuntungan secara lebih fair . Tabb
mengatakan bahwa untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan norma-norma
kultural yang dihasilkan oleh proses globalisasi kontemporer. Masalah
globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan
lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi. Globalisasi pada bidang ekonomi
melahirkan negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di
sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik
mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan
ekonomi dan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini
dalam keadaan kacau (chaos).
Berkaitan dengan globalisasi
terhadap konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik terjadi dalam proses
tersebut, yang oleh Naisbitt (Tilaar, 2001) disebut sebagai paradoks, yang
menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi
terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis
(etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini
terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis.
Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga
memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap
nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda)
namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya
nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis. Efek homogenisasi terjadi
terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah
menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Tapi
pada sisi lain pengaruh komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state)
yang homogen berubah ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa
beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery)
bisa berpindah ke pusat.
Paradoks lain yang dimunculkan oleh
globalisasi adalah munculnya kesenjangan yang semakin besar antara
negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu
juga terjadi di dalam negara-negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan
miskin. Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia,
sebagaimana keputusan G-7 dalam pertemuan mereka di Lyon pada akhir Juni 1996
yang menyatakan bahwa:
“Globalisation (global economy) is
source of rising living standard reaping the gains from trade, internasional
investment, and tecnological progress. For this purpose, developing countries
should make adjustment to increased competition and special efforts to
eliminate inequality”.
2. Pengaruh Globalisasi
Globalisasi yang menimbulkan krisis
multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa
krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat termasuk di
dalamnya kader . Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya
pembinaan kepribadian kader yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi
persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Kader partai harus
mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap
perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Heilbroner ( Tilaar,1997:34)
menyatakan bahwa:
“masa depan atau esok hari hanya
dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa depan tidak dapat
diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan
yang membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah
masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini
tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan
yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal maka
manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu. Dengan kata lain
manusia yang tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya akan dibawa oleh
arus perubahan yang dahsyat yang membawanya ketempat yang tidak dikenalnya.
Maka hasilnya sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan di dalam ketidakpastian atau
chaos”.
Untuk membangun kepribadian kader
dalam menghadapi problematika yang muncul akibat globalisasi sehingga tidak
terjebak dalam arus perubahan yang menimbulkan ketidakpastian (chaos) maka
diperlukan pemberdayaan yang bertujuan menjadikan kader sebagai warga dunia
yang baik dan bertanggungjawab (good and responsible citizenship) yang menurut
Rosada (2000:10) bertujuan :
“… untuk (a) membentuk kecakapan
partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan
masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global ; (b)
menjadikan warga masyarakat yang baik dan mampu menjaga persatuan dan
integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan
demokratis; (c) menghasilkan mahasiswa yang berfikir komprehensif, analitis, kritis
dan bertindak demokratis, yang … akan menjadi warga bangsa yang mudah dipimpin
tapi sulit dikendalikan, mudah diperintah tetapi sulit diperbudak; (d)
mengembangkan kultur demokrasi yaitu kebebasan, persamaan, kemerdekaan,
toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan mengambil keputusan serta
kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan politik kemasyarakatan; (e) mampu
membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen ( warga negara yang
baik dan bertanggung jawab ) melalui penanaman moral dan keterampilan sosial
(social skills) sehingga kelak akan mampu memahami dan memecahkan
persoalan-persoalan aktual kewarganegaraan seperti toleransi, perbedaan
pendapat, bersikap empati, menghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib
sosial, menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokrasi dalam berbagai lapangan
kehidupan dan menghargai kearifan lokal (local wisdom). (Dede Rosyada
et.al.,2000:10).
3. Respon terhadap Globalisasi
Kenyataan globalisasi yang bersifat
paradoksal telah memunculkan perlawanan seperti tercermin dalam peristiwa 9/11.
Di Eropa, pada dekade 1970-an, protes terhadap penindasan dimonopoli kelompok
kiri. Namun setelah kelompok tersebut mulai melenyap di era 1990-an, maka
menurut Eric Hiariej jaringan yang tersisa adalah kelompok Islam Radikal. Hal
tersebut tercermin pada seorang mualaf Prancis yang ikut perang Bosnia. Lionel
Dumont yang mengatakan “the muslims are the only ones to fight for the system”.
Atau seperti yang dikatakan Mohammad Zarif-mantan diplomat Thaliban, yang
mengatakan “it is common knowledge that American Imprealisme is the custodian
of global capitalism……..the capitalist world selected the Americans as their
watchdog on basis of their savageness in WW II” (Kompas, 6 Agustus 2005).
Kegamangan menghadapi globalisasi
yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imprealisme, bukan hanya
monopoli kelompok kiri dan Islam radikal. Kelompok nasionalis, memiliki
keprihatinan yang sama. Sukarno, dalam pidatonya di depan Majelis Umum PBB, 30
September 1960, yang diberi judul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World
Anew) mengatakan ” Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa
bangsa besar dan kuat’. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang
bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil pun berhak bersuara karena mempunyai
tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan sehingga berhak untuk didengar karena
mempunyai peranan di dunia ini dan harus memberikan sumbangannya. Imprealisme
dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di
dunia kita ini. Indonesia berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih
baik yang sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan keadilan dan
kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya yang
penuh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 129-174).
Pidato Soekarno diperkuat dengan
mengutif Al-Qur’an (S. 49: 13):
“Hai, sekalian manusia, sesungguhnya
Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan,
sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu sekalian
kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasannya yang lebih mulia di antara kamu
sekalian, ialah siapa yang lebih taqwa kepadaKu”.
Tahun 1960-an ketika Soekarno
menyampaikan pidatonya, dunia sedang dalam amcaman perang nuklir akibat
perseteruan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat da Blok Timur yang
di pimpin Uni Soviet. Namun Soekarno menolak dikotomi tersebut dan menggalang
kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya mengatakan bahwa “semua bangsa
memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, dan jika cita-cita dan konsepsi itu
menjadi usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya”. Konsepsi yang diperlukan yang
dimaksud Soekarno adalah Pancasila, yang dimaksudkannya sebagai alternatif dari
Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.
Sumber : http://www.isomwebs.net/2012/04/pancasila-dengan-globalisasi/
0 komentar:
Posting Komentar