Kamis, 07 November 2013

MAKALAH ULUMUL HADITS



ILMU JARH WA TA’DIL
Makalah disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah                : ULUMUL HADITS
Dosen Pengampu        : AENUROFIK, MA.
                                                    
Oleh :
1.                              Banaina Zulfa                   2021 111 344
2.                              Devita Anggraeni              2021 111 358
3.                              Arizal Ma’ruf                    2021 111 361
                                             Kelas: I
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu  hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits  riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima,  menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam diwan hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘âdil, dhâbithat au fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “al- Jarh wa al-Ta’dil’.
BAB II
PEMBAHASAN
A.            Pengertian al-Jarh dan al-Ta’dil
Al-jarh secara bahasa: isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang. Al-jarh menurut istilah: yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya atau melemahkannya hingga kemudian ditolak[1]. At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya.
Al-‘Adlu secara bahasa yaitu apa yang lurus dalam jiwa, lawan dari durhaka, dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya. Al-‘Adlu menurut istilah yaitu orang yang tidak nampak padanya apa yang dapat merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadis. At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Maka ilmu al-Jarh dan al-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penta’dilannya dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
B.   Manfaat Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak ,akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal perjalanan hadis semenjak Nabi Muhammad SAW, sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu.
Jika tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat kita akan mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari rosullullah dan hadis yang palsu (maudhu’). Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis sahih, hasan ataupun hadis dhoif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.[2]
C.  Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Menta’dil-kan Dan Men-tajrih-kan.
Ada beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan (mu’addil) dan orang yang     men-jarah-kan(fajrih),            yaitu;
1. Berilmu pengetahuan.
2. Takwa.
3. Wara’ ( orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dos
     kecil dan makruhat-makruhat).
4. Jujur
5. Menjauhi fanatik golongan.
6. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan untuk men-takhrij-kan.[3]
D.  Kemunculan dan Perkembvangan ilmu Al-jarh wa At-ta’dil
Eksistensi Al-jarh wa At-ta’di dalam kritik sanad hadis berfungsi sebagai tolok ukur dan timbangan bagi seorang perawi apakah hadis yang diriwayatkannya itu diterima atau ditolak. Permasalahan Al-jarh wa At-ta’dil, al Khathib menyatakan bahwa sebenarnya Al-jarh wa At-ta’dil tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam itu sendiri. Al Naisaburi juga mengatakan bahwa generasi pertama yang telah memperkenalkan azaz dan kaedah Al-jarh wa At-ta’dil adalah generasi sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Zaid bin Thabit, dimana mereka menyeleksi, memberikan nilai negatif dan positif dan membahas riwayat-riwayat yang sahih dan tidak sahih.[4]
Pembahasan mengenai Al-jarh wa At-ta’dil   pada tahap berikutnya mengalami perkembangan yang demikian pesat. Pada abat ke-2  muncul tokoh-tokoh Al-jarh wa At-ta’dil diantaranya adalah : Ma’mar, Hisyam Al-DIstiwai, Al-Auza’i, Al- Tsauri, Hammad Ibn Salamah dan Al-Laits Ibn Sa’ad. Pada penghujung periode terakhir abad ke-2 itu juga muncul tokoh-tokoh seperti : Yahya Ibn Sa’id Al-Qattan dan Abdurrahman Ibn Mahdi.
Perkembangan ilmu Al-jarh wa At-ta’dil yang menggembirakan ini tidak lepas dari perhatian umat terhadap hadis, yang demi menjaga validitasnya, penyeleksian  terhadap para pembawa  berita tersebut mutlak dilakukan dengan ketat berdasarkan metode dan semua ilmu Al-jarh wa At-ta’dil.
E.   Macam-macam Keaiban Rawi
1.      Bid’ah
2.     Mukhalafah
3.    Ghalath
4.    Jahalatu’l-Hal
5.    Da’wa’l-inqitha’
F.   Jumlah Orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi-rawi
1.                   Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayat. Demikian pendapat kebanyaakan fuqoha Madinah.
2.                  Cukup seorang saja dalam soal riwayat bukan dalm soal syahadah. Sebab, bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam  penerimaan hadis, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta’di-lkan dan men-tajrih-kan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
3.                  Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.[5]
Adapun kalau ke-adilan-nya itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak  atau dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu, tidak diperlukan lagi orang yang menta,dilkan (muzakky=mua’dil). Seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal , Al-Laits, Ibnu Mubarak, Sya’aibah, Ishak, dan lain-lain .
G.  Pertentangan Antara Al-Jarh dan At-Ta’dil
Terkadang, pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian men-tajrih-kan, sebagian lain men-ta’dil-kan. Bila keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya. Dalam masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut:
1.     Al-jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adilnya lebih banyak daripada jarh-nya. Sebab jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniah yang tidak diketahui oleh si mu’adil. Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama’.[6]
2.      Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya yang men-ta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut Ajjaj al Khathib, pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang men-ta’dil, meskipun lebih banyak jumlahnya tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang mentajrih.
3.      Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.
4.      Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan.
H.  Lafadz-Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan[7], yaitu sebagai berikut:
1)      Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafadz-lafadz af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandug pengertian sejenis:
اوثق الناس                                   = orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalannya.
اثبت الناس حفظا وعدالة      = orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
الىه المنتهى في الثبت           = orang yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya.
ثقة فوق ثقة                    = orang yang tsiqat melebihi orang tsiqat.
2)      Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafadz (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
ثبت ثبت  = orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.
ثقة ثقة          = orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu yang sangat dipercaya.
حجة حجة           = orang yang ahli (lagi) petah lidahnya.
ثبت ثقة   = orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat hafalannya.
حافظ حجة        = orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya.
ضابط متقن          = orang yang kuat ingatannya (lagi) meyakinkan ilmunya.
3)      Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti ‘kuat ingatan’, misalnya:
ثبت     = orang yang teguh (hati-hati lildahnya).
متقن    = orang yang meyakinkan ilmunya.
ثقة      = orang yang tsiqah.
حافظ   = orang yang hafidz (kuat hafalannya).
حجة    = orang yang petah lidahnya.
4)      Tingkatan keempat,menunujkkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil’ (tsiqah), misalnya:
صدوق             = orang yang sangat jujur
ماء مون           = orang yang dapat memegang amanat
لا باء س به       = orang yang tidak cacat
5)      Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui ke-dhabit-an, misalnya:
محلة الصدق      = orang yang berstatus jujur
جيد الحديث        = orang yang baik haditsnya
حس الحديث       = orang yang bagus haditsnya
مقارب الحديث    = orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits lain yang tsiqah
6)      Tingkatan keenam, menunujukka arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafadz “Insya Alla”, atau lafadz tersebut di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya:
صدوق ان شاءالله                                    = orang yang jujur, insya Allah
فلان ارجو بان لا باء س به            = orang yang diharapkan tsiqah
فلان صويلج                              = orang yang sedikit keshalihannya
فلان مقبول حديثة                        = oranng yang diteruma hadits-haditsnya
Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun hadits-hadits para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits periwayat lain.
Kemudian, tingkatan dan lafadz-lafadz untuk men-tajrih rawi-rawi, yaitu;
1)      Tingkatan pertama, menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alu al ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:
اوضع الناس                  = orang yang paling dusta
اكذب الناس                    = orang yang paling bohong
اليه المنتهى في الوضع      = orang yang paling menonjol kebohongannya
2)      Tingkatan kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafadz-lafadz berbentuk sighat muballaghoh, misalnya:
كذاب                            = orang yang pembohong
وضاع                         = orang yang pendusta
دجال                           = orang yang penipu
3)      Tingkatan ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, mislanya:
فلان متهم بالكذب             = orang yang dituduh bohong
او متهم بالوضع              = orang yang dituduh dusta
فلان فيه النظر                = orang yang perlu diteliti
فلان ساقط                     = orang yang gugur
فلان ذاهب الحديث           = orang yang haditsnya telah hilang
فلان متروك الحديث         = orang yang ditinggalkan haditsnya
4)      Tingkatan keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:
مطروح الحديث              = orang yang dilempar haditsnya
فلان ضعيف                  = orang yang lemah
فلان مردود الحديث          = orang yang ditolak haditsnya
5)      Tingkatan kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya:
فلان لايحتج به               = orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya
فلان مجهول                  = orang yang tidak dikenal haditsnya
فلان منكر الحديث            = orang yang mungkar haditsnya
فلان مضطرب الحديث      =orang yang kacau haditsnya
فلان واه                        = orang yang banyak duga-duga
6)      Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya:
ضعف حديثه        = orang yang di-dha’if-kan haditsnnya
فلان مقال فيه        = orang yang diperbincangkan
فلان فيه خلف       = orang yang disingkiri
فلان لين              = orang yang lunak
فلان ليس بالحجة   = orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya
فلان ليس بالقوي   = orang yang tidak kuat
Orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat diapakai sebagai i’tibar (tempat pembanding).
I.         Metode Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan Masalah-Masalahnya.
Keadilan seorang perawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan.
1.   Dengan kepopuleran dikalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah).
2.    Dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
  
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh;
1.  Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.
2. Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, bai laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu;
1.    Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
2.    Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang mengetahui sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin, sedangkan menurut para fuqoha, sekurang-kurangnya harus di tajrih oleh dua orang laki-laki yang adil[8].
BAB III
PENUTUP
1.              Kesimpulan
Ilmu jarh adalah kecacatan pada perawi hadist disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi. Jadi ilmu jarh adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk para perawi hadits yang meliputi perkataan dan perbuatan dalam mendapatkan dan menjaga hadits. Ilmu ta’dil adalah lawan dari al- jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dabit. Pernyataan bahwa seorang perawi bersih dari sifat-sifat yang membuat riwayatnya ditolak. Sehingga dengan ta’dil ini riwayatnya bisa diterima dikalangan umat islam.
2.                   Saran
Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang bisa diterima riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dijadikan referensi bagi para peminat hadits dalam menentukan sikap pada sebuah hadits. Tentunya makalah ini masih banyak kekurangan dengan kedhaifan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qaththan, Syaikh Manna’. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar).
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. (Bandung: PT. Alma’arif)..
Solahudin. M.,  & Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadis. (Bandung,: CV. Pustaka Setia).
Sumbulah, Umi. 2008. Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis. (Malang: UIN-Malang Press.)
Lhienaa,         “Al-Jarh         wa       Al-Ta’dil Hadits”, (http://catatanbolpoint.wordpress.com/2011/10/31/al-jarh-wa-al-tadil-hadits/), 31 Senin Okt 2011. Diakses 1 Mei 2012.

0 komentar:

Posting Komentar