ILMU
JARH WA TA’DIL
Makalah disusun guna memenuhi tugas :
Mata
Kuliah : ULUMUL HADITS
Dosen
Pengampu : AENUROFIK, MA.
Oleh
:
1.
Banaina Zulfa 2021 111 344
2.
Devita Anggraeni 2021
111 358
3.
Arizal Ma’ruf 2021
111 361
Kelas: I
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Kedudukan
hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak
diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak
diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana
menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal
yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan
masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk
meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang
ilmu yakni ilmu hadits riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana
menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan
dalam diwan hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis dinukilkan dan
dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak
membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘âdil, dhâbithat au
fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal
perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi
sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah
membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi
itu adalah melalui ilmu “al- Jarh wa
al-Ta’dil’.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
al-Jarh dan al-Ta’dil
Al-jarh secara bahasa: isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan
darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang. Al-jarh
menurut istilah: yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat
menjatuhkan ke’adalahannya, dan
merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya atau
melemahkannya hingga kemudian ditolak[1].
At-Tajrih yaitu memberikan sifat
kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya atau
tidak diterima riwayatnya.
Al-‘Adlu secara bahasa yaitu apa yang lurus dalam jiwa, lawan dari durhaka,
dan seorang yang ‘adil artinya
kesaksiannya diterima dan At-Ta’dil
artinya mensucikannya dan membersihkannya. Al-‘Adlu
menurut istilah yaitu orang yang tidak nampak padanya apa yang dapat merusak
agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan
kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadis. At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan
sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Maka ilmu al-Jarh dan al-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang
cacat-cacat yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penta’dilannya dengan memakai kata-kata
yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
B.
Manfaat Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk
menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus
ditolak sama sekali. Kalaulah ilmu al-jarh
wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak ,akan muncul
penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal
perjalanan hadis semenjak Nabi Muhammad SAW, sampai dibukukan mengalami
perjalanan yang begitu panjang dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak
menentu.
Jika tidak
mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat kita akan mencampuradukkan antara
hadis yang benar-benar dari rosullullah dan hadis yang palsu (maudhu’). Dengan
mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis
sahih, hasan ataupun hadis dhoif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari
matannya.[2]
C. Syarat-Syarat
Bagi Orang Yang Menta’dil-kan Dan Men-tajrih-kan.
Ada beberapa
syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan
(mu’addil) dan orang yang men-jarah-kan(fajrih), yaitu;
1. Berilmu pengetahuan.
1. Berilmu pengetahuan.
2. Takwa.
3. Wara’ ( orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat,
syubhat-syubhat, dosa-dos
kecil dan makruhat-makruhat).
4. Jujur
5. Menjauhi fanatik golongan.
6. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan
dan untuk men-takhrij-kan.[3]
D. Kemunculan
dan Perkembvangan
ilmu Al-jarh wa
At-ta’dil
Eksistensi Al-jarh wa At-ta’di dalam
kritik sanad hadis berfungsi sebagai tolok ukur dan timbangan bagi seorang
perawi apakah hadis yang diriwayatkannya itu diterima atau ditolak.
Permasalahan Al-jarh wa At-ta’dil, al Khathib menyatakan bahwa sebenarnya
Al-jarh wa At-ta’dil tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam
itu sendiri. Al Naisaburi juga mengatakan bahwa generasi pertama yang telah
memperkenalkan azaz dan kaedah Al-jarh wa At-ta’dil adalah generasi sahabat
seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Zaid bin Thabit, dimana mereka menyeleksi,
memberikan nilai negatif dan positif dan membahas riwayat-riwayat yang sahih
dan tidak sahih.[4]
Pembahasan
mengenai Al-jarh wa At-ta’dil pada tahap
berikutnya mengalami perkembangan yang demikian pesat. Pada abat ke-2 muncul tokoh-tokoh Al-jarh wa At-ta’dil
diantaranya adalah : Ma’mar, Hisyam Al-DIstiwai, Al-Auza’i, Al- Tsauri, Hammad
Ibn Salamah dan Al-Laits Ibn Sa’ad. Pada penghujung periode terakhir abad ke-2
itu juga muncul tokoh-tokoh seperti : Yahya Ibn Sa’id Al-Qattan dan Abdurrahman
Ibn Mahdi.
Perkembangan ilmu Al-jarh wa
At-ta’dil yang menggembirakan ini tidak lepas dari perhatian umat terhadap
hadis, yang demi menjaga validitasnya, penyeleksian terhadap para pembawa berita tersebut mutlak dilakukan dengan ketat
berdasarkan metode dan semua ilmu Al-jarh wa At-ta’dil.
E. Macam-macam
Keaiban Rawi
1. Bid’ah
2.
Mukhalafah
3.
Ghalath
4.
Jahalatu’l-Hal
5.
Da’wa’l-inqitha’
F. Jumlah Orang
yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi-rawi
1.
Minimal dua
orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayat. Demikian
pendapat kebanyaakan fuqoha Madinah.
2.
Cukup
seorang saja dalam soal riwayat bukan dalm soal syahadah. Sebab, bilangan
tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan
hadis, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta’di-lkan dan men-tajrih-kan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
3.
Cukup
seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.[5]
Adapun kalau
ke-adilan-nya itu diperoleh
atas dasar pujian orang banyak atau dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu,
tidak diperlukan lagi orang yang menta,dilkan (muzakky=mua’dil).
Seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal , Al-Laits, Ibnu Mubarak,
Sya’aibah, Ishak, dan lain-lain .
G.
Pertentangan Antara Al-Jarh dan At-Ta’dil
Terkadang,
pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap
orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian men-tajrih-kan,
sebagian lain men-ta’dil-kan. Bila keadaannya seperti itu, diperlukan
penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya. Dalam masalah ini, para
ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut:
1.
Al-jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adilnya lebih
banyak daripada jarh-nya. Sebab jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak
diketahui oleh mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa
yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan
batiniah yang tidak diketahui oleh si mu’adil. Inilah pendapat yang dipegang
oleh mayoritas ulama’.[6]
2.
Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena
banyaknya yang men-ta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan.
Menurut Ajjaj al Khathib, pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang
men-ta’dil, meskipun lebih banyak jumlahnya tidak memberitahukan apa yang
menyanggah pernyataan yang mentajrih.
3.
Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan,
kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan
dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.
4.
Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan.
H. Lafadz-Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Lafadz-lafadz
yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Menurut
Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi
4 tingkatan, menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5 tingkatan,
sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan[7],
yaitu sebagai berikut:
1)
Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam
keadilan, dengan menggunakan lafadz-lafadz af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain
yang mengandug pengertian sejenis:
اوثق الناس =
orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalannya.
اثبت الناس
حفظا وعدالة = orang
yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
الىه المنتهى
في الثبت = orang
yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya.
ثقة فوق ثقة
= orang yang tsiqat melebihi orang tsiqat.
2)
Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang
menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu
selafadz (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
ثبت ثبت = orang yang
teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.
ثقة ثقة
= orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu yang sangat dipercaya.
حجة حجة = orang
yang ahli (lagi) petah lidahnya.
ثبت ثقة = orang yang
teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat hafalannya.
حافظ حجة
= orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya.
ضابط متقن = orang yang
kuat ingatannya (lagi) meyakinkan ilmunya.
3)
Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti
‘kuat ingatan’, misalnya:
ثبت = orang
yang teguh (hati-hati lildahnya).
متقن = orang yang
meyakinkan ilmunya.
ثقة =
orang yang tsiqah.
حافظ = orang yang hafidz
(kuat hafalannya).
حجة = orang yang
petah lidahnya.
4)
Tingkatan keempat,menunujkkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafadz
yang tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil’ (tsiqah), misalnya:
صدوق
= orang yang sangat jujur
ماء مون
= orang yang dapat memegang amanat
لا باء س به
= orang yang tidak cacat
5)
Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui
ke-dhabit-an, misalnya:
محلة الصدق =
orang yang berstatus jujur
جيد الحديث
= orang yang baik haditsnya
حس الحديث
= orang yang bagus haditsnya
مقارب الحديث = orang yang
haditsnya berdekatan dengan hadits lain yang tsiqah
6)
Tingkatan keenam, menunujukka arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat
tersebut di atas yang diikuti dengan lafadz “Insya Alla”, atau lafadz tersebut
di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu dikaitkan dengan suatu
pengharapan, misalnya:
صدوق ان
شاءالله
= orang yang jujur, insya Allah
فلان ارجو
بان لا باء س به
= orang yang diharapkan tsiqah
فلان صويلج
= orang yang sedikit keshalihannya
فلان مقبول
حديثة
= oranng yang diteruma hadits-haditsnya
Para ahli
ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang
di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai
hujjah. Adapun hadits-hadits para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan
kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila
dikuatkan oleh hadits periwayat lain.
Kemudian,
tingkatan dan lafadz-lafadz untuk men-tajrih rawi-rawi, yaitu;
1)
Tingkatan pertama, menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan
menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alu al ta’dil atau ungkapan lain
yang mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:
اوضع الناس
= orang yang paling dusta
اكذب الناس
= orang yang paling bohong
اليه المنتهى
في الوضع
= orang yang paling menonjol kebohongannya
2)
Tingkatan kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafadz-lafadz
berbentuk sighat muballaghoh, misalnya:
كذاب
= orang yang
pembohong
وضاع
= orang yang
pendusta
دجال
= orang yang
penipu
3)
Tingkatan ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, mislanya:
فلان متهم
بالكذب
= orang yang dituduh bohong
او متهم
بالوضع
= orang yang dituduh dusta
فلان فيه
النظر
= orang yang perlu diteliti
فلان ساقط
= orang yang gugur
فلان ذاهب
الحديث
= orang yang haditsnya telah hilang
فلان متروك
الحديث
= orang yang ditinggalkan haditsnya
4)
Tingkatan keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:
مطروح الحديث
= orang yang dilempar haditsnya
فلان ضعيف
= orang yang lemah
فلان مردود
الحديث
= orang yang ditolak haditsnya
5)
Tingkatan kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai
hafalannya, misalnya:
فلان لايحتج
به
= orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya
فلان مجهول
= orang yang tidak dikenal haditsnya
فلان منكر
الحديث
= orang yang mungkar haditsnya
فلان مضطرب
الحديث
=orang yang kacau haditsnya
فلان واه
= orang yang banyak duga-duga
6)
Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya,
tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya:
ضعف حديثه = orang yang
di-dha’if-kan haditsnnya
فلان مقال
فيه = orang yang
diperbincangkan
فلان فيه خلف =
orang yang disingkiri
فلان لين
=
orang yang lunak
فلان ليس
بالحجة = orang yang tidak dapat digunakan hujjah
haditsnya
فلان ليس
بالقوي = orang yang tidak kuat
Orang yang
di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, haditsnya
tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan
menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat diapakai sebagai
i’tibar (tempat pembanding).
I.
Metode Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan
Masalah-Masalahnya.
Keadilan seorang perawi dapat
diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan.
1. Dengan kepopuleran dikalangan para ahli ilmu bahwa ia
dikenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah).
2. Dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu
ditetapkan sebagai rawi yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan
keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh;
1. Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.
1. Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.
2. Setiap orang yang dapat diterima
periwayatannya, bai laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun
budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan
tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu;
1. Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
1. Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
2.
Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang mengetahui
sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin, sedangkan
menurut para fuqoha, sekurang-kurangnya harus di tajrih oleh dua orang
laki-laki yang adil[8].
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Ilmu jarh
adalah kecacatan pada perawi hadist disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak
keadilan atau kedabitan perawi. Jadi ilmu jarh adalah ilmu yang mempelajari
seluk-beluk para perawi hadits yang meliputi perkataan dan perbuatan dalam
mendapatkan dan menjaga hadits. Ilmu ta’dil adalah lawan dari al- jarh, yaitu
pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dabit.
Pernyataan bahwa seorang perawi bersih dari sifat-sifat yang membuat riwayatnya
ditolak. Sehingga dengan ta’dil ini riwayatnya bisa diterima dikalangan umat
islam.
2.
Saran
Dengan
mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang bisa diterima
riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat
dijadikan referensi bagi para peminat hadits dalam menentukan sikap pada sebuah
hadits. Tentunya makalah ini masih banyak kekurangan dengan kedhaifan penulis. Untuk
itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang sangat membantu
penyempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita
semua umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qaththan, Syaikh Manna’.
2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits.
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar).
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. (Bandung:
PT. Alma’arif)..
Solahudin. M., & Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadis. (Bandung,: CV. Pustaka Setia).
Sumbulah, Umi. 2008. Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis.
(Malang: UIN-Malang Press.)
Lhienaa, “Al-Jarh wa Al-Ta’dil Hadits”, (http://catatanbolpoint.wordpress.com/2011/10/31/al-jarh-wa-al-tadil-hadits/), 31 Senin
Okt 2011. Diakses 1 Mei 2012.
http://kuliahtarbiyah.blogspot.com/2011/02/ilmu-aljarh-wa-attadil.html), 12 Februari 2011.Diakses 1 Mei 2012-06-01
0 komentar:
Posting Komentar