Mata
Kuliah : USHUL FIQIH
Pertanyaan
:
1.
Sebutkan
satu perbedaan hasil ijtihad yang dilakukan oleh para imam mahdzab dan jelaskan
pandangan terhadap masalah tersebut !
2.
Jelaskan
pandangan ulama’ tentang masalah urf sebagi sumber hukum islam dan bagaimana
sikap anda dalam masalah tersebut?
3.
Jelaskan
kapan sebuah teks al-Qur’an atau hadits dikatkan wajib, sunah, makruh, mubah,
dan haram !
Jawaban :
1.
Ada
beberapa pendapat mengenai bilangan rakaat yang dilakukan kaum muslimin pada
bulan Ramadhan sebagai berikut:
a.
Madzhab
Hanafi
Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi
dalam kitab Fathul Qadir bahwa Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan
Ramadhan sesudah Isya’, lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih
(istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk
sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).
Kesimpulan,
bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan
setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.
b.
Madzhab
Maliki
Dalam
kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan
kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di
Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat
termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata
“Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya,
“inilah yang kudapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih
dilakukan umat.
Dari
kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam
Malik berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dari
untuk shalat bersama umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya
panjang-panjang” sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lamanya
berdiri dan kita baru selesai menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin
Ruman dia berkata, “Orang-orang melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab
di bulan Ramadhan 23 rakaat”.
Imam
Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah
20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr.Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46
rakaat 3 witir.Inilah yang masyhur dari Imam Malik.
c.
Madzhab
as-Syafi’i
Imam
Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan Ramadhan
itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di Madinah
melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu
diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di
makkah dan mereka witir 3 rakaat.
Lalu
beliau menjelaskan dalam kitab Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut
Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20
rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadhan.
d.
Madzhab
Hanbali
Imam
Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni
suatu masalah, ia berkata, “Shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni
shalat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad
Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.
Menurut
Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan
(berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan
al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin
Ka’ab, lalu dia shalat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat
bersama mereka kecuali pada separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay
tertinggal lalu shalat dirumahnya maka mereka mengatakan, “Ubay lari”,
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid.
Dari
apa yang saya baca dari pendapat itu
kita tahu bahwa para ulama dalam empat madzhab sepakat bahwa bilangan Tarawih
20 rakaat. Kecuali Imam Malik karena ia mengutamakan bilangan rakaatnya 36
rakaat atau 46 rakaat. Tetapi ini khusus untuk penduduk Madinah. Adapun selain
penduduk Madinah, maka ia setuju dengan mereka juga bilangan rakaatnya 20
rakaat.
2.
Ada
beberapa perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para fuqaha’ sehubungan
dengan penggunaan ‘urf sebagai sumber hukum, sehingga para fuqaha mempunyai
pendapat tersendiri tentang kehujjahan ‘urf, diantaranya adalah:
a.
Golongan
yang menggunakan ‘urf sebagai hujjah, dengan berdasarkan pada firman Allah
surat Al-A’raf ayat 199, ayat ini merupakan perintah yang berasaal dari Allah
dengan sighat ‘am, artinya ‘urf dapat digunakan sebagai dalil hukum syara’.
merekalah yang mengatakan bahwa ‘urf merupakan kebiasaan manusia yang mencakup
berbagai hal yang baik. Sehingga dapat menggunakan ‘urf sebagai hujjah, karena
segala sesuatu yang dianggap baik oleh ummat-Nya, maka ia baik bagi Allah SWT.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah para ulama hanafiyah dan malikiyah.
b.
Golongan
yang tidak menganggap ‘urf sebagai hujjah dikarenakan ada begitu banyak ‘urf
yang berlaku dalam berbagai masyarakat, sehingga sangat sulit untuk menentukan hukum
dari ‘urf, yang termasuk di dalamnya adalah para ulama’ Syafi’iyyah dan
Hanabilah.
Akan tetapi ulama’ ushul fiqih
sepakat bahwa hukum yang didasarkan pada ‘urf dapat berubah sesuai
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat pada waktu dan tempat
tertentu. ‘urf yang disepakati oleh para ulama adalah urf sahih yang umum dan
berlaku sejak masa sahabat hingga setelahnya yang tidak bertentangan dengan
nash syar’I dan tidak juga bertentangan dengan qaidah dasar.
Dari pendapat para ulama’, saya
dapat menarik kesimpulahsuatu kesimpulan bahwa dalam penetapan hukum islam,
ulama juga menggunakan ‘urf dan sebagai
sumber hujjah, ‘urf dapoat dijadikan hujjah apabila telah memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan, yakni ‘am, sahih, berlaku pada masa sahabat hinnga
sekarang dan tidak bertentangan dengan nash yang ada serta qaidah dasar islam
dan juga diterima dalam adat kebiasaan masyarakat.
3.
Menghukumi
sesuatu tidak bisa dilakukan hanya dengan satu ayat atau hadits saja. Demikian
juga menetapkan hukum apakah itu wajib ataukah haram. Bahkan, tida semua
perintah atau larangan didalam Al-Qur’an maupun Hadits hanya jatuh pada hukum
wajib dan haram, ada kalanya dihukumi sunnah atau hanya makruh.
a.
Dikatakan
wajib, kadang disebut Fardlu. Jika keduanya sinonim. Yakni sebuah tuntutan yang
pasti (thalab jazm) untuk mengerjakan perbutan, apabila dikerjakan mendapatkan
pahala, sedangkan bila ditinggalkan maka berdosa (mendapatkan siksa).
Contohnya, shalat fardlu, bila mengerjakannya maka mendapatkan pahala, bila
ditinggalkan akan diadzab di neraka, demikian juga dengan kewajiban-kewajiban
yang lainnya.
Wajib terbagi menjadi dua yakni :
Pertama, wajib ‘Ainiy : kewajiban bagi setiap individu. Kedua, wajib Kifayah :
kewajiban yang apabila sudah ada yang mengerjakannya maka yang lainnya gugur
(tidak mendapatkan dosa), contohnya seperti shalat jenazah, tajhiz jenazah
(mengurus jenazah), menjawab salam dan sebagainya.
Istilah
Wajib juga ada yang mensinonimkan dengan Lazim.Sebagian ulama ada yang
membedakan antara Fardlu dan Wajib hanya pada beberapa permasalahan di Bab
Haji.
Ada juga yang membedakan antara
Fardlu dan Wajib, seperti Hanafiyah.Menurut mereka, Fardlu adalah sesuatu yang
telah ditetapkan dengan dalil syar’i (maqthu’ bih) dan tidak ada keraguan
didalamnya, seperti shalat 5 waktu, zakat, puasa, haji, iman kepada Allah.Hukum
Fardlu adalah lazim (wajib) baik secara keyakinan maupun perbuatan sehingga
apabila mengingkari (secara keyakinan) pada salah satu kefardluan itu maka
kafir, namun bila meninggalkan saja (tidak mengerjakannya, seperti shalat 5
waktu dan semacamnya) maka fasiq.Sedangkan Wajib adalah kewajiban yang ghairul
fardl (selain fardlu), sesuatu yang ditetapkan dengan dalil namun masih ada kemungkinan
ketidak pastian (hasil ijtihad), hukumnya lazim secara perbuatan saja, tidak
secara keyakinan.
b.
Sunnah,
disebut juga Mandub, Mustahabb, Tathawwu, Al-Nafl, Hasan dan Muragghab fih.
Semuanya bersinonim. Yakni sebuah anjuran mengerjakan yang sifatnya tidak jazm
(pasti), apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak
berdosa.
c.
Mubah,
bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak mendapatkan pahala atau
pun disiksa (sebuah pilihan antara mengerjakan atau tidak). Misalnya, memilih
menu makanan dan sebagainya.
d.
Makruh,
yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti (tidak jazm) untuk meninggalkan
perbuatan tertentu (larangan mengerjakan yang sifatnya tidak pasti), apabila
dikerjakan tidak apa-apa, namun bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala dan
dipuji.
Menurut
sebagian ulama, istilah Makruh ini ada yang menyatakan dengan Khilaful Aula (menyelisihi
yang lebih utama).
e.
Haram,
yakni tututan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu, apabila dikerjakan oleh
seorang mukallaf maka mendapatkan dosa, namun bila ditinggalkan mendapatkan
pahala. Contohnya seperti minum khamr, berzina dan lain sebagainya. Istilah
haram juga kadang menggunakan istilah Mahdzur (terlarang), Maksiat dan al-danb
(berdosa).
Menurut
Hanafiyah, istilah Haram adalah antonim dari Fardlu (mereka membedakan antara
Fardlu dan Wajib). Ada juga istilah makruh Tahrim dan makruh Tanzih.Makruh
Tahrim adalah sebuah istilah yang lebih dekat dengan Haram, serta merupakan
kebalikan dari Wajib dan Sunnah Mu’akkad.Sedangkan istilah makruh Tanzih, tidak
disiksa bila mengerjakannya dan mendapatkan pahala bila meninggalkannya.
Istilah makruh Tanzih menurut Hanafiyah adalah kebalikan dari sunnah ghairu
Muakkad.
DAFTAR PUSTAKA
Saiban Kasuwi. 2005. Metode
Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan Hukum Fiqih Kontemporer.
Malang: Kutub Minar.
Abd. Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh),Jakarta: Rajawali, 1989.
Abd.Aziz M. Azzam dan Abd. Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2010
0 komentar:
Posting Komentar