Minggu, 28 Desember 2014

USHUL FIQIH



Mata Kuliah   : USHUL FIQIH

            Pertanyaan :
1.      Sebutkan satu perbedaan hasil ijtihad yang dilakukan oleh para imam mahdzab dan jelaskan pandangan terhadap masalah tersebut !
2.      Jelaskan pandangan ulama’ tentang masalah urf sebagi sumber hukum islam dan bagaimana sikap anda dalam masalah tersebut?
3.      Jelaskan kapan sebuah teks al-Qur’an atau hadits dikatkan wajib, sunah, makruh, mubah, dan haram !

Jawaban :
1.      Ada beberapa pendapat mengenai bilangan rakaat yang dilakukan kaum muslimin pada bulan Ramadhan sebagai berikut:
a.       Madzhab Hanafi
Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi dalam kitab Fathul Qadir bahwa Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadhan sesudah Isya’, lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).
Kesimpulan, bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.
b.      Madzhab Maliki
Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan  umat.
Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dari untuk shalat bersama umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya panjang-panjang” sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lamanya berdiri dan kita baru selesai menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadhan 23 rakaat”.
Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr.Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir.Inilah yang masyhur dari Imam Malik.
c.       Madzhab as-Syafi’i
Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan Ramadhan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di Madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat.
Lalu beliau menjelaskan dalam kitab Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadhan.
d.      Madzhab Hanbali
Imam Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni  suatu masalah, ia berkata, “Shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.
Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid.
Dari apa yang saya baca dari pendapat  itu kita tahu bahwa para ulama dalam empat madzhab sepakat bahwa bilangan Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik karena ia mengutamakan bilangan rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. Tetapi ini khusus untuk penduduk Madinah. Adapun selain penduduk Madinah, maka ia setuju dengan mereka juga bilangan rakaatnya 20 rakaat.
2.      Ada beberapa perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para fuqaha’ sehubungan dengan penggunaan ‘urf sebagai sumber hukum, sehingga para fuqaha mempunyai pendapat tersendiri tentang kehujjahan ‘urf, diantaranya adalah:
a.       Golongan yang menggunakan ‘urf sebagai hujjah, dengan berdasarkan pada firman Allah surat Al-A’raf ayat 199, ayat ini merupakan perintah yang berasaal dari Allah dengan sighat ‘am, artinya ‘urf dapat digunakan sebagai dalil hukum syara’. merekalah yang mengatakan bahwa ‘urf merupakan kebiasaan manusia yang mencakup berbagai hal yang baik. Sehingga dapat menggunakan ‘urf sebagai hujjah, karena segala sesuatu yang dianggap baik oleh ummat-Nya, maka ia baik bagi Allah SWT. Yang termasuk dalam golongan ini adalah para ulama hanafiyah dan malikiyah.
b.      Golongan yang tidak menganggap ‘urf sebagai hujjah dikarenakan ada begitu banyak ‘urf yang berlaku dalam berbagai masyarakat, sehingga sangat sulit untuk menentukan hukum dari ‘urf, yang termasuk di dalamnya adalah para ulama’ Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Akan tetapi ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa hukum yang didasarkan pada ‘urf dapat berubah sesuai perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. ‘urf yang disepakati oleh para ulama adalah urf sahih yang umum dan berlaku sejak masa sahabat hingga setelahnya yang tidak bertentangan dengan nash syar’I dan tidak juga bertentangan dengan qaidah dasar.
Dari pendapat para ulama’, saya dapat menarik kesimpulahsuatu kesimpulan bahwa dalam penetapan hukum islam, ulama juga menggunakan ‘urf dan  sebagai sumber hujjah, ‘urf dapoat dijadikan hujjah apabila telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, yakni ‘am, sahih, berlaku pada masa sahabat hinnga sekarang dan tidak bertentangan dengan nash yang ada serta qaidah dasar islam dan juga diterima dalam adat kebiasaan masyarakat.
3.      Menghukumi sesuatu tidak bisa dilakukan hanya dengan satu ayat atau hadits saja. Demikian juga menetapkan hukum apakah itu wajib ataukah haram. Bahkan, tida semua perintah atau larangan didalam Al-Qur’an maupun Hadits hanya jatuh pada hukum wajib dan haram, ada kalanya dihukumi sunnah atau hanya makruh.
a.       Dikatakan wajib, kadang disebut Fardlu. Jika keduanya sinonim. Yakni sebuah tuntutan yang pasti (thalab jazm) untuk mengerjakan perbutan, apabila dikerjakan mendapatkan pahala, sedangkan bila ditinggalkan maka berdosa (mendapatkan siksa). Contohnya, shalat fardlu, bila mengerjakannya maka mendapatkan pahala, bila ditinggalkan akan diadzab di neraka, demikian juga dengan kewajiban-kewajiban yang lainnya.
Wajib terbagi menjadi dua yakni : Pertama, wajib ‘Ainiy : kewajiban bagi setiap individu. Kedua, wajib Kifayah : kewajiban yang apabila sudah ada yang mengerjakannya maka yang lainnya gugur (tidak mendapatkan dosa), contohnya seperti shalat jenazah, tajhiz jenazah (mengurus jenazah), menjawab salam dan sebagainya.
Istilah Wajib juga ada yang mensinonimkan dengan Lazim.Sebagian ulama ada yang membedakan antara Fardlu dan Wajib hanya pada beberapa permasalahan di Bab Haji.
Ada juga yang membedakan antara Fardlu dan Wajib, seperti Hanafiyah.Menurut mereka, Fardlu adalah sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil syar’i (maqthu’ bih) dan tidak ada keraguan didalamnya, seperti shalat 5 waktu, zakat, puasa, haji, iman kepada Allah.Hukum Fardlu adalah lazim (wajib) baik secara keyakinan maupun perbuatan sehingga apabila mengingkari (secara keyakinan) pada salah satu kefardluan itu maka kafir, namun bila meninggalkan saja (tidak mengerjakannya, seperti shalat 5 waktu dan semacamnya) maka fasiq.Sedangkan Wajib adalah kewajiban yang ghairul fardl (selain fardlu), sesuatu yang ditetapkan dengan dalil namun masih ada kemungkinan ketidak pastian (hasil ijtihad), hukumnya lazim secara perbuatan saja, tidak secara keyakinan.
b.      Sunnah, disebut juga Mandub, Mustahabb, Tathawwu, Al-Nafl, Hasan dan Muragghab fih. Semuanya bersinonim. Yakni sebuah anjuran mengerjakan yang sifatnya tidak jazm (pasti), apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak berdosa.
c.       Mubah, bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak mendapatkan pahala atau pun disiksa (sebuah pilihan antara mengerjakan atau tidak). Misalnya, memilih menu makanan dan sebagainya.
d.      Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti (tidak jazm) untuk meninggalkan perbuatan tertentu (larangan mengerjakan yang sifatnya tidak pasti), apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala dan dipuji.
Menurut sebagian ulama, istilah Makruh ini ada yang menyatakan dengan Khilaful Aula (menyelisihi yang lebih utama).
e.       Haram, yakni tututan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu, apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan dosa, namun bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Contohnya seperti minum khamr, berzina dan lain sebagainya. Istilah haram juga kadang menggunakan istilah Mahdzur (terlarang), Maksiat dan al-danb (berdosa).
     Menurut Hanafiyah, istilah Haram adalah antonim dari Fardlu (mereka membedakan antara Fardlu dan Wajib). Ada juga istilah makruh Tahrim dan makruh Tanzih.Makruh Tahrim adalah sebuah istilah yang lebih dekat dengan Haram, serta merupakan kebalikan dari Wajib dan Sunnah Mu’akkad.Sedangkan istilah makruh Tanzih, tidak disiksa bila mengerjakannya dan mendapatkan pahala bila meninggalkannya. Istilah makruh Tanzih menurut Hanafiyah adalah kebalikan dari sunnah ghairu Muakkad.








DAFTAR PUSTAKA
Saiban Kasuwi. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan Hukum Fiqih Kontemporer. Malang: Kutub Minar.
Abd. Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh),Jakarta: Rajawali, 1989.
Abd.Aziz M. Azzam dan Abd. Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2010

0 komentar:

Posting Komentar