Syariat Dalam Perspektif Makrifat Jawa
Bagi tasawuf jawa Al Qur’an terbagi atas dua macam pertama qur’an
garing (kitab garing) dan kitab teles (kitab basah). Kitab garing adalah
kitab al Qur’an yang tertulis sebagai petunjuk dalam memahami ayat-ayat
Tuhan. Kitab basah adalah al Qur’an yang terdapat didalam hati.
Kedudukan kitab basah derajatnya lebih tinggi, juga kedudukanya karena
ia menyangkut ayat-ayat semesta, dan sebagai sumber untuk memahami makna
kehidupan. Posisinya atas kitab basah, kitab kering berfungsi sebagai
lampu penerang, agar kitab basah dapat berfungsi dengan baik dan tidak
berjalan dalam kegelapan.
Kitab suci yang kering, hanyalah sebagai tanah kosong yang perlu di
cangkul, dipupuk dan ditanami. Untuk itulah diperlukan kitab suci basah,
atau yang terdapat dalam diri manusia. Kitab suci sebagai formaslisme
syariat yang harus menemukan benih yang tepat, yakni hati yang bersih,
dan penanam yang tepat pula. Itulah sang salik, yang hatinya bersih, dan
segenap jiwanya diarahkan kepada Allah. Hal ini menjadi salah satu
berimbangan antara syariat dan makrifat. Berikut penulis petikkan dari
serat nitisruti pupuh dhandhanggula bait 11~14 karya sunan kajenar yang
terjemahanya sebagi berikut:
“” Maksud ajaran yang permulaan mengenai kududukan uluma, bilamana
sudah benar sesuai penempatanya, jujurnya perasaan didalam hati tiada
tabir, karena sudah waspada kedudukanya yang di sembah dan yang
menyembah, menjadi biasa dalam keberadaan sejati, menjadi mulia yang
sebenarnya, selarasnya yang demikian itu sebenarnya, tidak terbuka dalam
hati manusia, yang tanpa pengetahuan, dan yang masih bodoh, sungguh
bodoh pemikiranya, oleh karena itu haruslah, hati terus berusaha,
mengambil teladan guru, kepada para ulama yang mahir, sebagai kemuliaan
sejati. Maksud rasa hati yang sudah sampai pada kebenaran, kotoran diri
sudah sirna, mencegah segala yang tidak baik, bagaikan tubuh yang
cantik, yang demikian itu bilamana, sudah sampai luar dalam, akhirnya
selaras bersih tak bercampur, dalam dalam suasana yang indah yang di
sebut benar-benar sirna sifat manusiawinya. Jelas sekali sebenarnya yang
demikian itu sudah tak ada gusti dan hamba, karena sudah sirna rasanya,
sedangkan yang tidak tau ,pengetahuan yang diuraikan, tak dapat
diceritakan bagaimana cara hidupnya, sudah penuh bisa, hanya kedurjanaan
yang dilakukan, lain halnya bagi yang sudah kokoh budinya…””
Pupuh diatas sangat mewakili ajaran mistik dan makrifat islam jawa.
Terutama yang di sebarkan oleh sunan kajenar dan sunan kaliajaga. Mistik
makrifat yang secara mudahnya berarti “inisiasi” adalah praktek kontak
spiritual langsung dengan Tuhan melalui kontemplasi atau pengalaman
psikologis. Oleh karenanya rahasia dan rasanya hanya dapat dirasakan
oleh pelakunya saja, dan masing-masing pelaku ( salik ) akan selalu
memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Namun secara jelas dan tegas
dapat dinyatakan bahwa tanpa laku, tanpa penghayatan langsung dan nyata,
maka keadaan yang sesungguhnya dari pengalaman keagamaan, rasa agama
(al-halawat al-iman), atau apa pun namanya dari buah lelaku tersebut
niscaya tidak dapat dirasakan dan tidak bisa diperoleh.
Demikian pula pengetahuan keagamaan sedalam apapun tidaklah bisa
disebut sebagai makrifat. Mendalamnya ilmu syariat juga belum bisa tentu
sanggup mengantarkan pemilikannya sampai pada kemakrifatan. Mungkin
mereka mengetahui tentang Tuhan. Ia tahu segala sifat-sifatnya melalui
buku dan guru. Karena mereka tahu tapi tidak pernah kontak, maka
hasilnya juga menjadi kurang benar. Maka dalam makrifat di butuhkan
lelaku. Dalam bahasa sufi, makrifat merupakan buah dari perjalanan,
suluk, seorang hamba kepada Tuhannya. Dari proses perjalanan itulah maka
akan tercapai makrifatullah. Dan di ketahui secara jelas apa itu
sangkan paraning dumadi( inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).
Dalam hal ini syariat bukanlah sekedar aturan-aturan formal
keagamaan, yakni yang sering hanya dibatasi sebagai fiqih. Sekarng ini
kata-kata “syariat islam” telah direduksi oleh para agamawan hanya
sebatas fiqih, aturan formal keagamaan yang dibakukan dalam berbagai
karya hukum keagamaan oleh manusia. Fiqih sebenarnya hanyalah produk
perjalanan ulama dalam sejarah islam, bukan syariat itu sendiri.
Sedangkan syariat dalam tataran makrifat adalah jalan yang harus dilalui
untuk mencapai tujuan.
Adapun cara untuk menempuh laku syariat itu di sebut sebagai terekat,
yang tentu terkait dengan masing-masing tempat, zaman, tradisi dan
budaya yang berbeda.praksisme keagamaan inilah yang pernah diusung oleh
parah tokoh sufi jawa pada abad ke 15 yang lalu.dalam
hal ini bahwa syariat baru menjadi berarti setelah dilalui melalui
proses tirakat atau lelakon. Dalam melakukan hal tersebut, maka yang
pertama kali harus diperhatikan adalah upaya untuk melongok kedalam diri
sendiri atau introspeksi. dalam hal inilah diperlukan adanya laku untuk
mengendalikan hawa nafsu. Tahapan utama untuk ini adalah khalwat,
tahannuts atau meditasi (menempuh laku heneng dan hening). Jika prose
ini berhasil maka akan mengantarkan pelakunya untuk mendapatkan apa yang
ia sebut sebagai inspirasi spiritual dan sebagainya. Dari ilham yang di
peroleh maka akan melahirkan berbagai pengetahuan baru dan
perilaku-perilaku yang berasas pada keluhuran budi sebagai buah
ber-musyahadah (menyaksikan dan berkontak langsung dengan Allah), Atau
buah iman. Dengan demikian maka kita berjalan menuju kepada –nya, kita
menyatu dengan-nya, dan kita telah membangun sikap hidup yang
berdasarkan kehendak Tuhan itu sendiri……
Dalam sistimatika makrifat jawa persoalan sholat mendapatkan
perhatian cukup penting. Dalam hal ini, yang cukup signifikan untuk
dibahas pada tempat ini adalah yang berkaitan dengan tiga hal pokok,
yang sering mendatangkan kontraversi, yakni tentang sholat tarek, sholat
daim, dan tentunya, terkait dengan hal tersebut adalah tentang adanya
sholat. Dalam qur’an sholat dikategorikanmenjadi dua seperti firman
Allah SWT: “Peliharalah semua sholatmu dan sholat wustha. Berdirilah
untuk Allah (dalam sholat) yang khusyu’ “ ( QS. AL-Bagarah/2:238).
Dalam sistem islam jawa makna sholatmu” dalam ayat tersebut mengacu
pada sholat syariat atau lahir, dan sholat wustha pada sholat hati.
Secara lahir sholat dilakukan dengan berdiri, membaca al-fatihah, sujud,
duduk dan sebagainya, yang melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah
sholat jasmani dan fisikal karena semua gerakan badan berlaku dalam
semua sholat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawati (segala
shalat), yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni
bagian lahiriah.
Bagian kedua adalah shalat wustha. Yang di maksud secara sufistik
adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau
tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah ,yakni di tengah”diri”,
maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan sholat ini
adalah untuk mencapai kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di
tengah-tengah, antara kanan dan kiri, antara depan dan belakang, antara
bawah dan atas, dan antara baik dan jahat. Hati menjadi titik tengah,
poin pertimbangan. Hati juga di ibaratkan berada diantara dua jari
Allah, dimana Allah membolak-balikkan kemana saja yang ia kehendaki.
Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat yang Maha
Menghukum dan Mengazab dengan sifat yang indah, yang kasih sayang, yang
lemah lembut.
Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah shalat serta ibadahnya hati,
kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak
khusyu’, maka jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi
kedamaian yang didambakan akan hancur pula. Apalagi sholat jasmani hanya
bisa dicapai dengan hati yang khusyu’. Kalau hati tidak khusyu’, serta
tidak dapat konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu
tidak bisa disebut shalat. Juga tidak akan dipahami apa yang diucapkan,
dan tentu apapun yang di lakukan dengan bacaan dan gerakanya tidak akan
mengantarkan sampai kepada Allah.
Urgensi kekhusukan itu berhubungan dengan inti shalat sebagai doa.
Doa atau munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan
tetapi berarti juga sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu
adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam shalat, tidak
perduli akan makna rohani sholat, shalat yang di lakukan tersebut tidak
akan memberikan manfaat apapun. Sebab semua yang di lakukan jasmaninya
sangat tergantung kepada hati sebagai zat untuk badan. Ingatlah sabda
Rasulullah :” ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging,
apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia
rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati…”
Kekhusukan hati akan membawa shalat yang menghasilkan kesehatan hati.
Shalat khusuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta
berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan
baik pula, bukan dengan hati yang rusak,yakni hati yang tidak dapat
hadir kepada Allah. Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki
keterbatasan dalam semua hal: tempa, waktu, kesucian badan, pakaian dan
sebagainya, maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah tidak
terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalul dilakukan terus-menerus
sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk rohani ada didalam hati.
Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah
yang berzikir dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa rohaniah.
Imamnya dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan yang kuat. Dan
kiblatnya adalah Allah. Inilah shalat daim yang di ajarkan oleh guru
saya yang memperoleh ajaran ini dari para orang bijak seperti sunan
kajenar dan sunan kalijaga dan sebagainya..
Nah, shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang
ikhlas, hati yang tidak tidur dan tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu
kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tidur.
Inilah tahapan orang-orang yang sudah mencapai makrifatullah, tempat
penyucian tertinggi. Di tempat itu ia ada tanpa dirinya, karena dirinya
telah fana’ telah hilang lenyap. Ingatanya yang teguh dan suci tercurah
hanya kepada Allah. pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut,
tidak ada lagi gerakan berdiri, sujud, rukuk dan sebagainya. Dia telah
telah berbincang-bincang dengan Allah.sebagaimana firman Allah:” Hanya
engkau yang kami sembah, dan hanya kepada engkaulah kami memohon
pertolongan.” (QS Al-Fatihah/1:5).
Friman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil,
yakni mereka yang telah mengalami beberapa tingkata alam rasa dan
pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau keesaan
Allah dan berpadu denganya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak
dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang
dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun, mereka pun sering tidak
mau mengungkapkannya, tidak ingin membocorkan rahasia ketuhanan yang
tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah. hal tersebut sama halnya
dengan hakikat takbir, yang bukan semat-mata ucapan ‘Allahu akbar”.
Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah untuk memuji
kebesaran Dzatnya.
Jadi takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut
hambanya. Bukan hasil dari dorongan emisional. Karenannya. Takbir sejati
adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir
sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. dan takbir
sejati adalah penyebutan namanya yang lahir dari kehendak-Nya semata.
Dengan takbir yang demikian itu, maka yang lain menjadi sangat kecil,
dan menjadi tidak ada. Yang ada hanya Allah. kemanapun kita menghadap
yang ada hanya wajah Allah. maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin
secara harmonis, Roh dan Hati seperti yang tergambar itu. Membawanya
msuk kehadirat Allah, hatinya berpadu mesra dengan Allah. dalam alam
nyata ia menjadi hamba yang alim dan wara’. Dalam alam rohani ia menjadi
hamba yang ma’rifah yang telah sampai pada tingkatan kesempurnaan
mengenal Allah. inilah makna bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah
perilaku keji dan moral. Sebaliknya menghasilkan kehalusan dan kemuliaan
budi dan perilaku. Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya,
hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fiqih sebagaimana tampak pada
kebanyakan manusia dewasa ini. Sholat yang tidak tau makna hakikatnya
mendapat kritik tajam dari sunan kajenar sebagai berikut: ” syahadat,
shalat, puasa semua tanpa makna termasuk zakat dan haji ke mekkah itu
semua telah menjadi palsu tidak bisa di jadikan panutan hanya
menghasilkan kerusakan bumi membohongi makhluk lain, hanya ingin surga
kelak orang bodoh mengikuti para wali sementara kenyataanya sama saja
belum mencapai tahapan hening”
Sunan kajenar mengkritik pelaksanaan hukum fiqih pada masa kerajaan
demak. Karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan
tujuan, kehilangan arti dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua
ajaran agama yang diajarkan para ulama ketika itu menjadi kebohongan
yang menina bobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak, yang
belum ada kenyataanya. Oleh karenannya. Para tokoh sufi jawa dan para
sufi lainya yang sudah benar-benar mencapai tahapan ma’rifah mengajarkan
shalat yang fungsional. Berbeda dengan para ulama yang hanya
mengandalkan hukum fiqih semata. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan
syariat, dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa, dan
mewarnai seluruh budi pekerti kehidupan. Seseorang yang melaksanakan
pekerjaan profesioanalnya secara benar, disiplin, ikhlas, dan karena
melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut telah
melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat daim. Sunan kalijaga pun
memiliki wejangan shalat daim sebagai berikut:
terjemahannya “””” wahai anak cucuku, setiap engkau menyelesaikan
shalat lima waktu, segeralah mendirikan shalat daim, shalat kekal,
shalat wustha. Mensucikan diri tanpa air melainkan dengan bacaan
istighfar yang senilai suci. Caranya tanpa rukuk dan sujud, melainkan
dengan serba merasa diri menghadap, mengabdi kepada Tuhan yang maha suci
dikala engkau sedang diam, bergerak dan bekerja apa saja. Syaratnya
hanya satu: niat menghambakan diri secara sempurna kepada Allah, dengan
memberikan kebajikan kepada orang lain. Itulah wahai anak cucuku, jalan
mencapai saat kematian sejati, memperoleh akhir hidup yang sempurna
dikaruniai rahmat Allah.
Jadi shalat daim tidak terbatas oleh waktu, keadaan atau
batasan-batasanyang lain. Dalam sulik linglung sunan kalijaga menegaskan
bahwa shalat daim dilaksanakan tanpa menggunakan air wudhu untuk
menghilangkan najis dan hadas, shalat daim merupakan shalat batin yang
sebenarnya. Shalat yang seseorang di dalamnya boleh dengan makan, tidur,
bersenggama, maupun buang kotoran.
Sunan Bonang pun memiliki ajaran shalat daim sebagai berikut: “”
Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat
yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat isa atau maghrib. Itu namanya
sembahyang. Apabila di sebut shalat, maka itu hanyalah hiasan dari
shalat daim. Hanyalah tata krama.””
Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya di lakukan
berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan
keberagaman. Sementara shalat daim merupakan shalat yang sebenarnya,
yakni kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Yang Maha Agung di
dalam diri-nya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah
lakunya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan
sebagainya adalah tindakan sembahnya. Inilah hakikat dari niat sejati
dan pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya
untuk tidak menebar kekejian dan kemungkaran. Mampu menghadirkan ramatan
lil ‘alamin.
Dalam sukuk wujil Sunan Bonang pun memberikan penjelasan tentang makna shalat.
“”Janganlah menyembah wahai engkau wujil, jika tidak kelihatan nyata. Sembah dan pujian tidak ada gunannya. Bila yang disembah itu jelas ada dihadapanmu, (maka engkau) mengerti adamu sebagai Yang Maha Agung, adamu sendiri tidak ada. Itulah yang dinamakan daim pada orang yang memuji, menjadi nyata kehendak purba.””
“”Janganlah menyembah wahai engkau wujil, jika tidak kelihatan nyata. Sembah dan pujian tidak ada gunannya. Bila yang disembah itu jelas ada dihadapanmu, (maka engkau) mengerti adamu sebagai Yang Maha Agung, adamu sendiri tidak ada. Itulah yang dinamakan daim pada orang yang memuji, menjadi nyata kehendak purba.””
Orang yang melaksanakan sembahyang, akan tetapi tidak bisa
mengarahkan ibadahnya tersebut kepada pengetahuan akan Tuhan, dalam
ajaran suluk islam jawa dianggap sia-sia. Demikian pula jika shalat
hanya dimaksudkan untuk sekedar mendapatkan pahala, maka hal tersebut
sia-sia. Orang yang menyembah harus mengetahui benar siapa yang
disembah.
Dalam suluk wujil Sunan Bonang berkata:
“” Manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa yang disembah di dunia ini, engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya ditebar tak ada satupun yang mengenai burung sasaranya. Akhirnya, Cuma menyembah adam sarfin, penyembahnya menjadi sia-sia tidak ada gunanya.””
“” Manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa yang disembah di dunia ini, engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya ditebar tak ada satupun yang mengenai burung sasaranya. Akhirnya, Cuma menyembah adam sarfin, penyembahnya menjadi sia-sia tidak ada gunanya.””
Dalam serat Wedhatama di sebutkan bahwa shalat merupakan sembah raga,
yang pelakunya baru disebut magang, agar ia dapat menjalankan
penyembahan pada kualitas yang lebih tinggi. Dalam tasawufnya di sebut
sebagai riyadhah( latihan ). Adapun tujuan dari sembah raga adalah untuk
memperoleh kondisi badan yang lebih sehat dan segar. Agar shalat
daim/Dzikr yang dilaksanakan dapat mencapai sasaran yang optimal, maka
pelaksanaanya harus dengan sepenuh hati dan pikiran, serta semua daya
hanya ditujukan kepad Allah. hal tersebut dinyatakan salam suluk
supanalaya, bahwa dzikr harus dengan amuntu hakikat.
Yakni dengan mengheningkan cipta dan merenungkan hakikat Tuhan
disertai dengan hati yang penuh dengan kerinduan atau hidayat Tuhan.
Jika kinerja tersebut terdapat penyertaan dari Allah yang berupa
diberikanya rahmat serta hidayahnya, maka dipastikan orang tersebut akan
bisa manunggal dengan Allah. apa yang diciptakan terjadi, dan yang
dikehendaki terlaksana. Selemat merenungkan galilah wawasan dari mana
saja datangnya untuk pengetahuan.
0 komentar:
Posting Komentar