Pandangan Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak
dan luas penerapanya. Untuk menjadikan maslahah mursalah menjadi dalil, ulama
Malikiyah dan Hanabilah bertumpu pada;
1. Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah
diantaranya, saat sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf.
Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang mendorong
mereka tak lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak hafidz yang
meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah, “Sesungguhnya
kamilah yang menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya”(Q.S: Al-hijr).
2. Adanya maslahath berarti sama dengan merealisasikan maqosid
as-syari’. Oleh karena itu, wajib menggunakan dalil maslahah karena merupakan
sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.
3. Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas
mengandung maslahat, maka orang-orang mualaf akan mengalami
kesulitan, Allah berfirman:
Artinya; “Dia tidak sekali-kali menjadikan kamu dalam agama suatu
kesempitan” (Q.S: Al Hajj 78).
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam malik dan hanabilah.
Sedangkan dari golongan syafi’I dan hanafi tidak mengagap maslahah mursalah
sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukannya kedalam bab qiyas.
Para penolak legalitas maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan
beberapa alasan:
1. Penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi kesakralitasan
hukum-hukum syariat.
2. Posisi maslahah mursalah berada dalam pertengahan penolakan syara’ dan
pengukuhannya pada sebagian yang lain.
3. Penerapan maslahah mursalah akan merusak unitas dan universalitas syariat
islam.
Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtimbath huukum dengan alasan:
Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtimbath huukum dengan alasan:
- Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap
hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
- Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan
tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam
terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
PANDANGAN ULAMA DALAM al-Urf
Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam
masing-masing mahzab:
1.Fiqh Hanafy
a. Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli
rumah yang meliputi bangunanya meskipun tidak disebutkan.
b. Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf.
c. Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin
jika di daerah tersebut ada kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang
lain, maka pemiliknya bisa meminta bagian.
d. Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam
segala hal menjadi kebiasaan para pedagang.
e. Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan
penggunaaannya
2.Fiqh Maliki
a. Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample
b. Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal
berdasarkan ’urf jika terjadi perselisihan
3.Fiqh Syafi’i
a. Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang
wajib potong tangan
b. Akad sewa atas alat transportasi
c. Akad sewa atas ternak
d. Akad istishna
4.Fiqh Hanbali
a. Jual beli mu’thah
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat
dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa
amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus
memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai
hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari
kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan
darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan
darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam
keadaan sangat dibutuhkan.
Imam Syafi’i terkenal dengan qaul
qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan
hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim)
dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan
bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka
jadikan sebagai dasar hujjah.
Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf
akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip
sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan
berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”.
Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi
beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai
berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya
waktu (zaman)”.
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan
sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu
ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami
perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh.
Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah
pendapat yang shohih karena kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf
tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya akan mengikuti ‘urf
tersebut.[11]
0 komentar:
Posting Komentar